Ketika jumlah masyarakat kelas menengah terus menurun, bagaimana nasib sektor properti?
Jakarta, Indonesia Properti – Menurunnya persentase masyarakat kelas menengah dan bangkitnya masyarakat kelas menengah ke bawah di Indonesia tengah menjadi perbincangan di kalangan pebisnis. Penurunan harga ini antara lain disebabkan oleh kenaikan harga berbagai barang dan jasa, terutama kebutuhan pokok, sehingga menggerus daya beli masyarakat kelas menengah.
Mengutip data Mandiri Expenditure Index (MSI) tahun 2013-2014, Menteri Keuangan Chatib Basiri mengatakan, bagian belanja untuk Produk makanan Atau bahan makanan kini meningkat dari 13,9% menjadi 27,4% dari total pengeluaran. Chatib Basiri seperti dikutip CNBC Indonesia, Rabu (24/7/2024) mengatakan, “Hukum Inggris mengajarkan bahwa semakin rendah pendapatan seseorang, maka semakin tinggi porsi konsumsi makanan dalam total pengeluaran.”
Pernyataan Chatib Basiri menunjukkan adanya perubahan pola konsumsi masyarakat. Meningkat dari 13,9% menjadi 27,4% dari total belanja, masyarakat kini mengutamakan kebutuhan dasar, seperti pangan, terutama dalam kondisi perekonomian yang sulit atau tidak stabil.
Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti inflasi yang mempengaruhi harga pangan, perubahan perilaku konsumsi karena kondisi tertentu seperti wabah penyakit, atau meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi dan pangan sehat. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat lebih memilih mengalokasikan uangnya untuk memenuhi kebutuhan pokok dibandingkan belanja hiburan atau keperluan lain yang tidak penting.
Menurut ekonom senior Universitas Paramadina Vijayanto Samirin, deindustrialisasi dini tercermin dari menurunnya kontribusi manufaktur terhadap PDB selama 10 tahun terakhir. Tahun lalu, kontribusi sektor industri hanya berkisar 18 persen. Sedangkan 10 tahun lalu masih 22-23%. Situasi ini membuat kelas menengah menyusut. Disebutkan pula bahwa masyarakat berpendapatan menengah adalah mereka yang membelanjakan 1,9 – 9,3 juta birr per bulan.
Dampaknya terhadap sektor properti
Besarnya kelas menengah di Indonesia menjadi topik yang menarik untuk dibahas, terutama dalam konteks ekonomi dan sosial. Kelas menengah dianggap sebagai penopang penting pertumbuhan ekonomi negara karena memiliki daya beli yang tinggi dan mampu mendorong konsumsi, termasuk di sektor properti.
Menurut Hendra Hartono, CEO Property Observer dan Leeds Property Services Indonesia, kelas menengah Indonesia terus mengalami penurunan di sektor residensial, sektor ritel, dan sektor pariwisata, terutama dalam hal tingkat okupansi hotel. Meski tidak signifikan, seharusnya subsektor tersebut mempunyai dampak yang signifikan dalam bisnis properti.
Hendra dikutip Wijayanto Samirin, jika rata-rata pengeluaran (Rp 1,9 – 9,3 juta per bulan) diasumsikan 60% dari pendapatan menengah, maka rata-rata pendapatan bulanan masyarakat kelas menengah di Indonesia berkisar Rp. 3 juta hingga Rp 15 juta per bulan.
“Kalau terkait dengan sektor perumahan Jangkauan “Penghasilan atas (Rp3 – Rp15 juta per bulan) cocok untuk perumahan Rp 300 juta hingga 2 miliar, atau kelas menengah ke atas,” kata Hendra kepada Property Indonesia.
Namun, kata Hendra, fakta di lapangan menunjukkan tidak ada dampak signifikan terhadap pasar properti residensial. Sebab selama 5 tahun terakhir, pertumbuhan KPR berdasarkan data Bank Indonesia masih berada pada kisaran 8-12% per tahun yang artinya masih tergolong sehat.
Situasi serupa terjadi di sektor ritel. Menurut Hendra, Merek–Merek Karena populasi Indonesia dan standar hidup yang tinggi, terutama di kota-kota besar, jumlah ekspatriat masih bertambah secara signifikan di Indonesia. Bahkan, menurut Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), transaksi penjualan ritel pada event mega sale Jakarta pada Juni-Juli 2024 mencapai Rp 14 triliun atau meningkat sekitar 21% dibandingkan tahun lalu.
Sementara di bidang pariwisata, menurut data BPS, aktivitas wisatawan domestik justru akan meningkat pada tahun 2023 dengan mencatat sedikitnya 750 juta perjalanan atau meningkat sekitar 12% per tahun. Oleh karena itu, sektor perhotelan dapat mencatatkan angka okupansi reguler sebesar 60%-70%.
Selain itu, meski daya beli masyarakat disebut menurun, pengembang atau pelaku ritel masih punya strategi ampuh untuk menarik pembeli, seperti diskon harga, keringanan biaya administrasi, dan Perabotan gratis. Selain itu, bank membantu pengembang dalam kondisi yang melemahkan daya beli, memperpanjang jangka waktu pembayaran hingga 20 tahun, sehingga masyarakat dapat melakukan pembelian.
“Strategi penetapan harga juga dilakukan oleh pedagang di sektor ritel. Kalau kita perhatikan, pengecer agresif dalam memberikan potongan harga atau paket pembelian produk, misalnya. Dapatkan 1 Beli 1. Situasi ini membuat mal diserbu pengunjung dalam jumlah besar. “Jadi strategi harga, paket promosi, dan metode pembayaran merupakan strategi yang perlu diterapkan baik oleh pengembang maupun pelaku ritel,” kata Hendra.